Halal Bihalal Foksika, FNP, dan Pelantikan Cabang

Inilah kami wahai Indonesia
Satu angkatan dan satu cita
Pembela bangsa penegak agama….

Dinyanyikan sekitar lima ratusan peserta lintas generasi, gema mars Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII ) malam tanggal 9 Nopember itu seperti hendak merobohkan langit-langit ruang pertemuan Wisma Syahida. Bergemuruh bak debur ombak barat daya yang biasa menghantam dermaga-dermaga pulau saya tiap akhir tahun.

Di depan, Paduan Suara Lamyuzad beranggotakan puluhan muda-mudi berbaris rapi memandu dengan konsentrasi penuh diiringi irama keyboard. Mulut mereka kadang terlihat “mancung”, kadang terbuka full 100 persen –gaya khas yang dimiliki hampir semua kelompok paduan suara di dunia.

Duh gusti, gema mars yang lama sudah tak saya dengar itu sungguh memompa adrenalin, menyuntikkan lagi rasa “patriotisme” ke-PMII-an saya yang belakangan seperti timbul-tenggelam. Peserta lain pun seperti hanyut dalam syair-syair heroik. Bayangkan sahabat! Pembela bangsa penegak agama….

Atmosfer malam itu seperti mengajak saya untuk kembali ke sepuluh tahun silam saat terlibat di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Ciputat. Setiap acara resmi organisasi serupa pelantikan pengurus, Rapat Tahunan Komisariat (RTK), Konferensi Cabang (Konfercab), Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba), Pelatihan Kader Dasar (PKD) dan lainnya, mars ini jadi ritual wajib. Seperti nyanyian para serdadu, mars ini memompa kita agar tangguh bertarung di medan laga. Ia begitu sakral layaknya Pancasila. Satu lagi lagu PMII yang saya suka dan iseng-iseng masih saya nyanyikan saat waktu senggang bersama isteri :

Berjuanglah PMII berjuang
Marilah kita bina persatuan
Hancur leburkanlah angkara murka
Perkokohlah barisan kita
Siap!

Ingat kan sahabat?

Jika mengenang masa-masa di Ciputat, saya kadang tersenyum sendiri. Bayangkan sahabat, buat saya waktu itu dan mungkin buat kita semua, Ciputat bak negara kecil di selatan Jakarta dengan dua dunia: dalam dan luar kampus. Hidup di sana waktu itu serasa sedang mengelola Indonesia dengan atmosfer politik yang kencang.

Di dalam dan luar kampus, kita punya rival yang nyata, blok politik yang jelas, ada intimidasi politik, gerpol, intrik, atau kampanye mengerek citra. Bungah rasanya jika kita berhasil muncul di pucuk pimpinan dengan segala keistimewaannya: dihormati kawan, lawan, dan satu lagi, tangga mudah meretas jalan menemukan jodoh. Ingat sahabat! Berapa banyak sahabat-sahabat yang berjodoh di organisasi ini (Baca dengan gaya Zainudin MZ dalam salah satu iklan layanan masyarakat di layar kaca). Di masa-masa ini yang paling membuat saya jauh lebih tertekan adalah saat kawan jadi lawan. Tapi itulah hidup, itulah politik. Beruntung saya mengalami ini.

Ciputat tentu tak hanya memberi saya pengalaman politik. Ciputat juga memberi saya kisah tentang persahabatan, dunia intelektual, dan kisah percintaan. Ciputat telah membentuk sebagian jalan hidup saya hari ini.

Seperti dua mars tadi, saya pun selalu ingat sebuah tembang lawas milik Doel Sumbang yang gemar saya nyanyikan di momen-momen ke-PMII-an dengan nada “seadanya”:

Nyamuk-nyamuk yang nakal serta kecoak liar
Jadi saksi kita berdua
Saat kita bercumbu rayu di samping Musholla
Di antara remang lentera

Kupegang tangannmu kuremas jarimu
Kucium pipimu juwita
Perlahan kau pejamkan mata
Saat aku tersentak lalu aku mengucap: astagfirullah al-adzhim

Engkau darah perawan aku lelaki perjaka yang masih muda belia
Usiamu usiaku baru aqil baligh
Dan kita buka suami isteri
Terlarang melakukan itu

Hampir saja mahkotamu dan mahkotaku hilang
Hilang karena sebuah nafsu
Malam semakin larut membuat kita gila
Hampir saja lupa segala-galanya

***

Sayang, modifikasi nada pada mars yang dibawakan Lamyuzad Jumat malam itu membuat koor terdengar tak padu. Di beberapa bait akhir, oleh mereka nada “dimodif” menurun. Sedang di sebagian besar peserta, saya duga biasa menyanyikan dengan nada meninggi seperti “diwariskan” turun temurun.

Tapi saya mengerti, ini sebuah kreatifitas yang membanggakan. Sebuah genre baru yang dipersembahkan generasi-generasi sesudah saya. Kalau tak salah ingat, paduan ini didirikan tahun 2001 oleh beberapa sahabat PMII yang punya minat tinggi di soal tarik suara. Satu di antaranya, kader perempuan terbaik Komisariat Dakwah di masanya: Elis Jazilah. Mobilitas perempuan ini cukup tinggi. Ia seperti dilahirkan dengan darah seni yang kental. Mantan qariah di kampungnya. Di kampus ia tercatat sebagai anggota perhimpunan qari-qariah, juga Teater Kampus Syahid. Berdasar “pelacakan” terakhir, perempuan bersuara merdu asal kota debus ini beredar di wilayah Depok, tak jauh dari tempat tinggal saya. Tapi belakangan saya kehilang kontak.

Berdiri dua kursi di sebelah kiri, Jamilun yang malam itu berbalut jaket hitam tampak khidmat melantunkan mars. Kami duduk di baris ketiga dari depan. Di mata saya, Jamilun sosok mengagumkan. Sejak dulu ia seolah tak berubah. Tak lama setelah hari raya kemarin, ia sempat menghubungi ponsel saya. Bertanya kabar dan kamipun bermaaf-maafan. Laki-laki yang santun dan bersahaja dengan senyum yang terus mengembang. Manusia yang “lurus” dan tulus. Jamilun pendidik yang tangguh.

Di sebelah Jamilun, Muhammad Afifudin berdiri gagah dengan jas birunya. Mewakili Pengurus Besar PMII,

Afif akan melantik pengurus baru Cabang Ciputat berpersonil sekitar 40-an yang dikomandani Zaid. Saya tak ingat persis nama lengkapnya. Yang saya ingat, dalam sambutannya Zaid yang mahasiswa Fakultas Adab ini seperti menirukan gaya pemimpin revolusioner Soekarno. “Saya berdiri di sini, bukan sebagai Ketua Cabang PMII, tapi penyambung lidah warga PMII”. Hmmm….

Malam itu Afif menggantikan Heri Haryanto Azumi, Ketua Umum PB PMII, yang sempat tiba di lokasi, tapi melesat lagi menuju Salemba. “Ada rapat pleno persiapan kongres,” kata Heri sebelum berlalu. Dengan kiprahnya saat ini, dua orang inipun saya kagumi.

Perhelatan ini diberi nama Halal bi Halal dan Pelantikan Pengurus Cabang PMII Ciputat Foksika Ciputat dan Forum Nahdliyin Perkantoran (FNP). Temanya: “Menumbuhkan Nilai-nilai Pergerakan, Meningkatkan Persahabatan, Profesionalitas, dan Kapabilitas.” Sebuah tema yang syarat makna.

Kita pasti mengerti, “pergerakan” jelas memuat makna ideologis jika bersanding dengan “himpunan” atau “ikatan”. “Sahabat” dengan “rekan”. Wallahul muwafiq ila aqwam ath-thariq, konon berbeda identitas dengan billahi taufiq wa al-hidayah. Ini kode, simbol, sekaligus peta budaya. Ia begitu bermakna, terutama saat kita hidup dalam kelompok yang berbeda latar belakang. Mungkin ini pula yang mendorong para senior membentuk FNP setahun lalu. Berharap bisa terus menjaga tradisi dan komunitas meski hidup di belantara modernitas.

Sejak siang hingga menjelang Magrib, wilayah Ciputat memang diguyur hujan lebat. Dari Jalan Raya Haji Juanda, air setinggi mata kaki menggenangi jalan menuju Wisma Syahida yang terletak selingkungan dengan gedung Paskasarajana. “Tapi tak disangka, peserta yang hadir malam ini sungguh luar biasa,” ungkap Pak Cu, Ketua Foksika dalam sambutannya diiringi gemuruh tepuk tangan.

Peserta yang hadir malam itu memang terbilang lengkap. Dari generasi muda hingga yang paling senior. Deratan kursi yang disediakan terisi penuh. Sayang, saya hanya mengenal sebagian kecil nama mereka, terutama yang sudah “senior”. Prof. Chotibul Umam dan Dr. Fathurrahman Rauf, dua di antara tokoh senior yang sempat saya lihat malam itu. Melihat mereka berdua, saya jadi ingat satu wajah lagi yang pasti tak akan pernah lagi muncul : Najid Muchtar. Bagi saya lelaki bersahaja ini tipikal wong NU yang rendah hati dan satun, bahkan untuk orang-orang “senakal” kami. Dengan mengenakan peci yang berdiri tak tegak dan mengapit kitab atau buku di bawah ketiaknya, saya sering melihatnya melintas Sekretariat Cabang untuk pergi mengajar. Sayang, ia kini sudah pergi.

Senior lain yang hadir: Dr. Mundzir Suparta, Dr. Masykuri Abdillah, Drs. Sutami, Drs. Hasanudin Ibnu Hibban. Sedang dari generasi yang lebih muda ada Rumadi, Khamami Zada, Aceng Abdul Aziz, Ghozi (Ushuludin), Harfin Zuhdi (Syariah), Sobirin, Ahmad Fawaid (Ushuludin), Edi Hayat (Syariah), M. Sabil (Ushuludin), Wildan Hasan Sadzily (Ushuludin), Papay Supriyatna (Adab), Robi Sugara (Adab), Abdullah Ubaid (Ushuludin), Dede (Dakwah) Nasrullah (Ushuludin), Ali Syahban (Adab). Dan masih banyak lagi. Mohon maaf bagi yang alfa disebut.

Saya tak sempat mengikuti acara hingga usai. Saya keluar ruangan sesaat setelah Dr. Muhammad Ali naik podium. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB. Padahal, saya sudah terlanjur janji pada isteri untuk tiba di rumah sekitar pukul 21.00 WIB. Jarak tempuh Ciputat-Depok sendiri makan waktu sejam lebih.

Sebelumnya dalam sambutan sebagai ketua panitia pengarah, Dr. Suparta sempat memperkenalkan siapa Muhammad Ali ini. Ia pejabat yang baru dilantik di lingkungan Departemen Agama sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Malam itu sepertinya ia jadi “bintang”

Nopember 2007

8 Replies to “Halal Bihalal Foksika, FNP, dan Pelantikan Cabang”

  1. saya lg nganggur ini, so lebih sering nongkrong di Tebet. yah lagi belajar ngeblog ini. maklum pengangguran…hehehe. btw anytime kok sebetulnya kita bisa ngobrol2. mansur yang beberapa waktu terakhir sering juga ke tebet.

    btw salam buat keluarga, sukses selalu…

Tinggalkan Balasan ke syamsuddin Batalkan balasan