Marijan

Tak absah rasanya bicara Merapi tanpa menyebut Mbah Marijan, juru kunci Merapi asal dusun Kinahrejo, Cangkringan, Sleman Yogyakarta. Bukan hanya karena masyarakat sekitar mempercainya sebagai “manusia sakti”. Lebih dari itu, lelaki bergelar kraton Raden Ngabehi Surakso Hargo ini seperti sebuah kitab tentang nilai-nilai kebajikan hidup.

Seperti kebanyakan warga di dusunnya, Mbah Marijan orang yang sangat sederhana dan bersahaja. Seperti sikapnya pada Gunung setinggi 2914 meter dari permukaan laut itu, ia begitu menghargai orang lain. Lelaki kelahiran 1927 yang sudah dikaruniai 11 cucu dan 6 buyut itu, belum lama ini bahkan dikabarkan jatuh sakit lantaran kelelahan meladeni banyaknya tamu yang datang ke rumahnya. Dari mahasiswa, wartawan, hingga pejabat pemerintah. Mbah Marijan senang banyak orang mau bertamu di rumahnya. “Rumah ini jadi tambah regeng (hangat),” katanya.

Bagi orang-orang kota seperti kita, cara berpikir Mbah Marijan mungkin dianggap tak jauh dengan masyarakat kebanyakan di dusunnya. Sedikit berbau mistik, terkadang sulit dimengerti akal dan pikiran orang-orang modern. Tapi, coba pikirkan lebih dalam ungkapan, sikap, dan pandangan-pandangan Mbah Marijan yang sempat terekam media massa. Bagi saya justru terasa sangat modern, cerdas, dan canggih untuk seukuran orang yang katanya ndeso.

Merapi kuwi mahluk alus, iso ngukum wong sing srakah (Merapi itu mahluk halus, bisa menghukum orang yang serakah),” kata Mbah Maridjan suatu ketika. Cara pandang semacam ini sebetulnya menandai prinsip hidupnya pada alam, khususnya Merapi. Itu artinya, Mbah Marijan memandang Merapi sebagai makhluk hidup yang punya aturan dan etika bergaul. Salah satunya, prinsip tak merusak alam.

Dengar pula komentarnya mengenai seruan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X yang memerintahkan dirinya segera mengungsi. “Yang memerintahkan itu Gubernur, kalau Sri Sultan belum,” ungkapnya sambil tersenyum.

Kali lain ia mengatakan, “di sini (Kinahrejo–Red), saya bisa berdoa untuk keselamatan banyak orang. Tapi kalau saya ikut mengungsi, itu berarti saya mengejar kepentingan pribadi”. Sebuah nilai tentang sikap konsisten dan mendahulukan kepentingan publik.

Kepada tamu-tamunya, Mbah Marijan jarang bicara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bukan karena tak bisa, Mbah Marijan punya prinsip sendiri soal ini. “Saya ini orang kecil, hanya berbahasa dengan bahasa orang kecil. Karena itu, omongan saya didengar oleh orang kecil. Bahasa Indonesia itu hanya dipakai oleh orang besar. Dan bahasa Indonesia itu terkesan sombong. Dan saya tak mau dibilang sombong,” ia beralasan.

Mungkin saja itu dilakukan Mbah Marijan sebagai aksi protesnya terhadap orang-orang yang mengeskploitasi Merapi. Orang-orang, yang menurut Mbah Marijan, biasa nulis gedrig (nulis latin) yang hobinya mencari duit banyak.

Majalah Syirah, Juni 2006

Tinggalkan komentar