Pendidikan Jurnalistik KAPPAS-FLA-WI: Yang Muda, Yang Damai

Berbekal semangat perdamaian, mereka mengembangkan komunitas di sekolah-sekolah di Kota Surabaya

Surabaya-wahidinstitute.org. Suara perempuan itu lantang dan bersemangat membaca isi sehelai kertas yang dipegangnya. Sesekali matanya menyapu seantero ruangan yang dipadati ratusan pelajar dan mahasiswa. Sebagian mereka asyik mendengarkan, sebagian lagi ada pula yang tampak asyik berbincang dengan kawan sebangkunya. “Tidak ada satu dalil dalam al-Quran dan Hadis, menggunakan celana itu adalah tabarruj,” kata mahasiswa semester awal Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya ini.

Perempuan muda itu, Lusi Muzayanah, salah seorang peserta Pelatihan Pendidikan Jurnalistik “Journalism in Pluralisme Perspective” yang berhasil memenangkan penulisan opini terbaik versi panitia yang kebanyakan dari kalangaan pelajar. Minggu sore itu (24/05), Lusi berpenampilan casual; berjilbab putih, berkaos warna cerah, dan mengenakan jeansseperti yang banyak dikenakan remaja muslim seusianya.

Secara kebahasaan, tabarruj, istilah yang dikutip Lusi, bisa diartikan dengan “tampak” atau “mencolok”. Mahligai dalam bahasa Arab juga digunakan dengan kata burujkarena dianggap sedap dipandang. “Perempuan yang ber-tabarruj berarti yang berpenampilan mencolok dengan sikap, gaya, busana dan perhiasan. Ber-tabarrujsecara jahiliah adalah melakukan tabarruj untuk tujuan pamer dan/atau merangsang nafsu birahi,” tulis Umar Fayumi di situs puanamalhayati.or.id, website resmi lembaga pemberdayaan perempuan pimpinan Sinta Nuriyah Wahid.

Imam Zamakhsyari, ulama kelahiran Persi (1075-1144 M) dari desa Zamakshar, Khwarezmia (daerah di negara Uzbekistan saat ini) mengartikan, tabarruj sebagai sikap memaksa diri untuk membuka sesuatu yang seharusnya disembunyikan. Seperti kata orang Arab, safinatun barij berarti perahu yang tak beratap.

Opini Lusi agaknya ditulis untuk meng-counter pandangan bahwa mengenakan celana dan pakaian yang sedikit ketat oleh sebagian kalangan disamakan dengan tabarruj. Padahal, yang ditekankan dari konsep ini adalah soal berlebih-lebihan dan yang merangsang birahi. Soal “merangsang” ini tentu tak mudah membuat batasannya, termasuk soal sopan dan tak sopan. Sepertinya perempuan ini hendak mengatakan, “apa yang saya gunakan ini bukanlah tabarruj seperti yang dipikirkan sebagian orang. Ini masih dalam batas kesopanan”.

Selain Lusi, ada dua temannya yang juga dipilih panitia sebagai penulis berita dan feature terbaik di forum itu. Badrul Munir untuk berita dan Hurinin Rihayatus Sa’adah untuk feature. Keduanya mahasiswa semester awal IAIN Surabaya. Badrul menulis berita tentang kejatuhan pesawat Hercules di Magelang baru-baru ini, sementara Rihayah mengenai kehidupan seorang bocah perempuan menggapai pendidikan.

Sedari pagi, Minggu (24/05) sekitar 280-an peserta dari kalangan pelajar, santri, dan mahasiswa se-Kota Surabaya berkumpul di lantai 3 gedung Self Acces Center (SAC) IAIN Surabaya untuk mengikuti pelatihan menulis yang digelar Komunitas Pemuda Perdamaian Surabaya (Kappas) dan Forum Lintas Agama (FLA) Surabaya bekerjasama dengan the Wahid Institute. Dalam forum ini mereka dibekali tekhnik dasar jurnalistik seperti membuat berita, opini, dan feature termasuk tentang isu perdamaian. “Pagi tadi pematerinya dari Trans TV,” kata Rubaidi, pimpinan FLA di luar ruangan saat kami berbincang santai sebelum acara kembali dimulai bakda Zuhur.

***

Saya sendiri dikirim the Wahid Institute untuk menyampaikan materi Peace Journalism (Jurnalisme Damai). Menurut saya, tema yang berkembang sejak tahun 1970-an di Barat ini sebetulnya agak “berat” diberikan kepada mereka yang masih pemula dalam tulis-menulis. Ini lebih banyak mengaduk-aduk persepektif jurnalis untuk melihat sebuah fakta, terutama menyangkut konflik dan perang. “Beban berat” kedua saya adalah bahwa saya mesti mengisi materi di jam-jam ngantuk, pukul 14.00 WIB di hadapan hampir 300-an orang. Padahal jumlah pelatihan yang efektif biasanya tak lebih dari 25 orang. Keluhan forum itu monoton dan menjemukan juga terlontar dari salah satu tulisan peserta yang dibacakan seorang pemateri sebelum saya. Ini membuat saya makin punya beban.

Di Barat, penggagas awal pendekatan Peace Journalism adalah Jhon Galtung, ahli studi pembangunan dan prefesor di bidang Ilmu Perdamaian European Peace University. Di era 90-an gagasan ini makin mengemuka paskaperistiwa “Operasi Badai Gurun” yang dilancarkan Amerika terhadap Irak. Media internasional ketika itu lebih sering memosisikan Amerika sebagai “polisi dunia” sementara Saddam “sang pecundang”. CNNmemberitakan tiap detik peristiwa tersebut.

Gerakan memperkenalkan Jurnalisme Damai makin menguat, terutama sekali terinspirasi oleh serangkaian ceramah musim panas John Galtung di Taplow Court, Buckhinghamshire, Inggris tahun 1997. Kuliah itu dihadiri sejumlah wartawan senior, mahahasiswa, dan para akedimisi dari Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika. Di forum itu pula beda Jurnalisme Perang (War Journalism) dan Jurnalisme Damai (Peace Journalism) dirumuskan.

Dengan mengutip lampiran dari The Peace Journalism Option, Transcend and Development (1998), Stanley (mantan wartawan dan pendiri Aliansi Jurnalis Independen)  dalam “Konflik dan Ide Jurnalisme Damai” menyebut, jika fokus jurnalisme damai terletak pada proses terjadinya konflik, pihak-pihak yang terlibat, penyebab pertikaian termasuk permasalahan yang menyertainya, berorientasi “menang-menang”, maka Jurnalisme Perang lebih fokus dalam arena konflik, dua kubu yang bertikai, dan beroritentasi “menang-kalah”. Jika jurnalisme damai proaktif mencegah terjadinya konflik, maka jurnalisme perang bersifat reaktif; menunggu konflik, baru membuat reportase.

Dalam orientasi liputan, masih menurut Stanley, Jurnalisme Damai berusaha mengungkap ketidakbenaran kedua belah pihak betikai, maka Jurnalisme Perang mengungkap ketidakbenaran salah satu pihak dan menutup-nutupi yang lain. Jurnalisme damai lebih mengedepankan empati kepada korban-korban konflik, sementara Jurnalisme Parang berusaha mengumbar liputan kontinyu mengenai jalannya konflik dengan berbagai kerusakan dan korban yang berjatuhan. Beberapa penjelasan tersebut adalah beberapa prinsip jurnalisme damai yang saya bicarakan di hadapan peserta pelatihan.

Dalam soal penulisan menggunakan pendekatan ini, ada beberapa tips –yang saya kutip dari sejumlah tulisan– juga saya shareke peserta. Pertama, hindari penggambaran, konflik hanya berlangsung dari dua pihak yang bertikai atas satu isu tertentu sehingga melahirkan kesan hanya ada satu kelompok yang menang, lainnya kalah. Lebih baik menggambarkan ada banyak kelompok kecil yang terlibat mencapai berbagai tujuan, dengan membuka lebih banyak kemungkinan kreatif yang akan terjadi. Misalnya, di tengah situasi konflik tertentu carilah sekelompok orang yang berbajibaku membangun perdamaian dengan cara mereka sendiri. Pada saat konflik Ambon meledak tahun 2000-an misalnya, sekelompok orang tengah berusaha mengerakan gerakan “baku bae” (saling-berbaikan) yang menyelenggarakan diaog-dialog antar kelompok muslim dan Kristen.

Kedua, hindari memperlakukan konflik seolah hanya terjadi pada saat dan tempat kekerasan terjadi. Cobalah menelusuri hubungan sekaligus akibat-akibat yang terjadi bagi masyarakat di tempat lain pada saat ini dan saat mendatang. Tanyakan, siapakah orang-orang yang akan beruntung pada akhirnya? Pelajaran apa yang akan didapat masyarakat dengan melihat peristiwa ini secara jelas, sebagai bagian dari pemirsa global? Sekadar contoh. Di tengah konflik yang berkecamuk, misalnya, carilah hal-hal kecil, namun menarik untuk menggambarkan hubungan tersebut. Konflik muslim-Kristen di Indonesia misalnya, ternyata berdampak pada hubungan masyarakat muslim Indonesia di negara-nagara Barat misalnya.

Ketiga, hindari penggunaan kata-kata emosional yang tidak dapat menggambarkan apa yang telah terjadi kepada sekelompok orang seperti “genosida” pembunuhan masal, “tragedi”, “pembantaian”, “sistematis”, dan lain-lain. Lebih bijak jika berusaha melukiskan sesuatu yang diketahui persis. Sebetulnya ada banyak tips lainnya, tapi tak mungkin semuanya saya tulis di sini.

Di Indonesia, pendekatan jurnalisme ini makin kecang didengung-dengungkan ketika Indonesia banyak diterpa konflik seperti tragedi Ambon. Pendekatan ini dianggap salah satu usaha meredakan konflik melalui pemberitaan media, bukannya malah memperparah keadaan. Saya kira pendekatan ini juga amat pas untuk membangun sikap toleran umat Islam terhadap kelompok lain yang berbeda. Tidak hanya untuk kalangan nonmuslim tapi juga sesama muslim.

***

“20 Juni mendatang, kami masih akan melakukan upgrading untuk skil menulis,” kata Zia Ul Rahman Fitron, Koordinator Kappas Surabaya kepada saya usai acara sore hari. Kegiatan tersebut kata pelajar Kelas 2 SMA Wahid Hasyim Sidoarjo ini, diharapkan bisa lebih konkret membekali peserta untuk membuat buletin. Tak hanya menulis, mereka juga akan diajarkan bagaimana mendesain buletin. Media itulah yang nantinya menjadi disebar ke sejumlah jaringan sekolah dan perguruan tinggi, sekaligus menjadi media komunikasi antarmereka.

Kappas berdiri sejak Oktober 2008 dengan 30 pengurus. Komunitas ini dibentuk para alumni kegiatan Workshop dan Video Conference seputar isu perdamaian yang digelar PeaceTech Indonesia bekerja sama dengan the Wahid Institute, menggandeng Yayasan Lintas Agama Jawa Timur (dulu bernama Forum Lintas Agama [FLA]) sebagai patner lokal. Acara itu dihadiri 1300 peserta pada Sabtu (22/11/08) di Gedung BK3S Jl Raya Tenggilis Surabaya. Mereka berasal dari kalangan pelajar SMA, mahasiswa atau organisasi kepemudaan maupun ormas-ormas keagamaan. Dari surabaya komunikasi antar mereka tersambung langsung dengan peserta kegiatan serupa di Banjarmasin.

Setelah kegiatan workshop dan video conference itu, para alumni yang tergabung dalam Kappas masih aktif melakukan pertemuan di sekterariat FLA hingga persiapan pelatihan Minggu itu. “Meskipun isinya kadang-kadang soal curhat mereka,” tambah Rubaidi. Termasuk beberapa kegiatan pengembangan skil yang digelar dengan bekerjasama dengan beberapa jaringan di Kota Surabaya.

“Untuk sekarang ini kami masih fokus memperkuat organisasi,” Lanjut Zia. “Kalau sudah kuat kita bisa lebih leluasa menjankan program-program”. Di tegah usaha konsolidasi itu mereka sudah berhasil membuat blog http://www.kappas-inc.blogspot.com, meski belum bisa dikatakan maksimal. Media ini diharapkan menjadi medium komunikasi antar mereka. “Kami berharap ke depan Kappas bisa memiliki perwakilan di setiap sekolah di Surabaya,” harap Zia (Alamsyah M. Djafar).

3 Replies to “Pendidikan Jurnalistik KAPPAS-FLA-WI: Yang Muda, Yang Damai”

Tinggalkan Balasan ke sistem informasi sekolah terpadu Batalkan balasan